Artikel 1435 ini tersedia dalam bentuk buletin pdf siap cetak. Klik disini untuk mengunduh
Bismillaah. Segala puji hanyalah milik Allah Ta’ala, satu-satunya Dzat yang mampu mendatangkan manfaat dan menghindarkan makhluk-Nya dari marabahaya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kegemaran menggunakan cincin bukanlah sesuatu yang didominasi oleh wanita saja. Akan tetapi, banyak juga pria yang senang menggunakan perhiasan yang melingkari jari ini dengan batu cincin yang beraneka rupa. Memang pada dasarnya syariat Islam mengizinkan wanita ataupun pria untuk mengenakan cincin di jarinya. Hanya saja kaum pria dilarang mengenakan cincin yang mengandung emas sebagai material penyusunnya.
Namun yang amat disayangkan, sebagian pengguna cincin memiliki keyakinan-keyakinan rusak yang bertolak belakang dengan akidah Islam terhadap cincin yang mereka kenakan. Sebagian mereka menjadikannya sebagai jimat. Mereka menjadikan cincin yang dikenakannya sebagai cincin bertuah. Keyakinan rusak ini dapat menjerumuskan kepada dosa terbesar, dosa kesyirikan, padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa yang derajatnya di bawah syirik bagi orang yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisaa : 48)
Kesyirikan pada penggunaan cincin bertuah
Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain, beliau menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang yang mengenakan cincin tembaga di jarinya. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa ini!?”. Orang itu menjawab, “(Cincin untuk) menghilangkan penyakit”. Lantas Rasulullah menimpali, “Lepaskan cincin itu! Benda itu tidak akan bisa menambahkan apa-apa kepadamu selain kelemahan. Sungguh andaikan engkau meninggal dalam keadaan memakai cincin tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya!” (HR. Ahmad)
Hadits di atas mengisahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah memergoki seseorang menggunakan cincin. Sementara itu, masyarakat jahiliyyah zaman dahulu mengenakan benda-benda semacam itu karena berharap meraih manfaat atau terhindar dari keburukan. Oleh sebab itu beliau bertanya, “(Cincin) apa ini!?”. Ternyata benar, orang tersebut mengenakannya karena meyakini cincin tersebut bertuah, yakni memiliki pengaruh positif terhadap dirinya yang sedang terkena penyakit. Sehingga beliau pun langsung bertindak dan memerintahkan orang tersebut melepaskan cincinnya dan memberi peringatan, bahwa orang yang menggantungkan hatinya kepada selain Allah, dia tidak akan beruntung.
Diriwayatkan pula dari Hudzaifah Ibnul Yaman, bahwasanya beliau pernah melihat seseorang yang mengenakan benang jimat di tangannya guna mencegah atau menyembuhkan penyakit demam. Kemudian Hudzaifah memotong benang tersebut dan melantunkan firman Allah (yang artinya), “Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya” (QS. Yusuf : 106) (HR. Ibnu Abi Hatim)
Riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa mengenakan benda tertentu sebagai jimat adalah kemungkaran yang serius. Oleh karenanya, Hudzaifah bertindak tegas dengan memotong benang yang digunakan orang tersebut lantas membacakan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya” (QS. Yusuf : 106). Para ulama menjelaskan ayat ini, “(Orang-orang musyrik) meskipun mengakui Allah adalah Rabb yang memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, dan mereka mengesakan Allah dalam setiap perbuatan-Nya (tauhid rububiyyah), namun mereka mempersekutukan-Nya dalam ibadah mereka”.
Oleh sebab itu, tauhid rububiyyah semata tidaklah cukup menjadikan seseorang sebagai seorang muslim. Namun tauhid rububiyyah harus disertai dengan mengesakan Allah pula dalam setiap ibadah, menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah (tauhid uluhiyyah).
Sisi kesyirikan penggunaan cincin bertuah
Penggunaan cincin bertuah, benang jimat, atau semacamnya, baik dalam rangka melindungi diri dari keburukan atau menghilangkan kesusahan yang sedang menerpa, termasuk ke dalam perbuatan syirik karena orang yang mengenakannya menggantungkan hatinya kepada jimat yang ia kenakan. Dan ia meyakini bahwa jimat tersebut memberikan pengaruh nyata (menjadi sebab) tercegahnya atau hilangnya keburukan dari dirinya. Ia menetapkan hukum sebab-akibat yang baru di alam ini : menggunakan jimat akan melindungi diri dari marabahaya. Hatinya pun digantungkan kepada jimat tersebut.
Saudara muslim yang dirahmati Allah. Sesungguhnya satu-satunya dzat yang berhak mengatur alam semesta, menentukan hukum sebab-akibat di alam ini ialah Allah Ta’ala semata, Dzat yang telah menciptakannya. Sebagaimana Allah telah menjadikan api sebagai sebab timbulnya panas dan air sebagai sebab padamnya api. Ketika seseorang mengenakan jimat yang diyakini mampu melindungi dirinya dari marabahaya, ia telah menetapkan sesuatu sebagai sebab padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab. Karena jimat –baik secara dalil maupun penelitian ilmiah- tidak akan mampu menangkal bahaya yang mengancam jiwa atau menghilangkan kesulitan yang sedang menerpa. Dari sisi ini, seakan-akan ia telah bersekutu dengan Allah Ta’ala dalam menentukan hukum sebab-akibat di alam ini. Oleh karena itu, sebagian ulama mengungkapkan, “Siapa yang menetapkan sesuatu sebagai sebab padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab –baik secara syar’i maupun kauniy-, dia telah berbuat syirik”.
Syirik akbar atau ashghar?
Pada dasarnya, mengenakan cincin bertuah, benang jimat, atau jimat-jimat lainnya dalam rangka mengharapkan manfaat atau mencegah marabahaya tergolong syirik ashghar (syirik kecil). Yakni, orang yang mengenakannya meyakini bahwa benda-benda tersebut hanyalah sebab semata. Namun yang mendatangkan kebaikan ataupun melindungi dari marabahaya tetap Allah Ta’ala. Dengan kata lain, hatinya meyakini bahwa Allah Ta’ala melindunginya dari berbagai keburukan karena ia mengenakan cincin bertuah atau jimat lainnya. Ini syirik ashghar.
Akan tetapi, tingkat kejahatannya bisa meningkat menjadi syirik akbar (syirik besar) apabila ia berkeyakinan bahwa cincin atau jimatnya tersebut bukan sekedar sebab, akan tetapi benda-benda itu sendiri yang dapat memberikan pengaruh nyata terhadap dirinya secara langsung, yang melindungi dirinya dari marabahaya, yang menghilangkan kesulitannya. Ini adalah syirik akbar, pelakunya dihukumi musyrik, bukan lagi seorang muslim meskipun masih shalat dan berpuasa, dan terancam kekal di neraka apabila tidak bertaubat sebelum wafat.
Kaidah penting seputar sebab
Ada tiga prinsip penting seputar sebab yang harus dipahami oleh seorang muslim :
- Hatinya harus tetap bersandar kepada Allah Ta’ala, bukan kepada sebab atau usaha yang sedang ditempuhnya
- Hendaknya memahami bahwa sebab tersebut terikat dengan takdir Allah Ta’ala. Hal ini adalah refleksi dari ungkapan yang familiar di telinga kita, “Manusia hanya bisa berusaha, tetapi Allah yang menentukan”.
- Cara mengetahui sesuatu itu sebagai sebab yang diizinkan syariat ada dua :
- Berdasarkan dalil Al Qur’an atau Sunnah (sebab syar’i)
Contoh : Memperbanyak istighfar adalah sebab untuk mendapatkan anak.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu” (QS. Nuh : 10 – 12)
Hal ini dikarenakan firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an maupun hadits Nabi yang shahih itu pasti benar adanya.
- Terbukti secara ilmiah (sebab kauniy)
Contoh : Minum obat yang mengandung paracetamol adalah sebab untuk mengurangi rasa sakit kepala.
Hal ini diketahui dengan penelitian ilmiah atau pengalaman. Apabila terbukti dapat memberikan dampak positif secara nyata, berarti itu adalah sebab yang boleh ditempuh. (At Tauhid Al Muyassar, hal. 72 dengan tambahan dan penyesuaian)
Ketiga prinsip di atas hendaknya dipahami dengan baik. Bila tidak, bisa jadi seseorang terjatuh ke dalam kesyirikan karena salah menempuh sebab/usaha. Dengan memahami prinsip di atas pula, kita mengetahui bahwa kesyirikan tidak terbatas pada penggunaan cincin bertuah semata, tetapi bisa juga kalung bertuah, batu bertuah, jimat, rajah, dan segala macam benda yang tidak Allah tetapkan sebagai sebab baik secara syar’i maupun kauniy, yang membuat hati bergantung kepadanya.
Kesempurnaan kuasa Allah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu? Atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar : 38)
Setidaknya ayat ini mengajarkan dua hal penting kepada kita :
- Wajibnya menggantungkan hati hanya kepada Allah Ta’ala, dan tidak boleh menggantungkan hati kepada selain-Nya. Sebab, hanya Allah saja yang mampu dan kuasa untuk mendatangkan kebaikan dan mencegah keburukan.
- Seluruh sesembahan orang musyrik tidaklah memiliki kuasa sama sekali. Tidak mampu mencegah keburukan, tidak pula mampu mendatangkan kemanfaatan. Padahal, dahulu orang musyrik menyembah nabi, orang-orang shalih, malaikat, dan lainnya. Apabila sesembahan mereka tidak mampu melakukan hal yang demikian, bagaimana mungkin sebuah cincin kecil atau seutas benang tipis yang diyakini bertuah, mampu melindungi pemakainya dari bahaya atau memberinya manfaat!?
Semoga sajian yang sedikit ini semakin mengukuhkan hati kita untuk senantiasa bergantung kepada Allah Ta’ala dalam setiap urusan dan berusaha menempuh sebab/usaha yang diizinkan syariat. Orang yang hatinya bergantung kepada selain Allah dalam urusannya, tidak akan meraih apa yang dia inginkan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mengenakan jimat, Allah tidak akan menyempurnakan urusannya. Dan siapa yang mengenakan batu bertuah, Allah tidak akan memberinya ketenangan hati” (HR. Ahmad)
Wallaahu a’lam.
Referensi utama :
Al Qaulu Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih Alu Syaikh
Penulis :Yananto Sulaimansyah (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi)